Muhasabah

Mengenang Sejenak Perjalanan

Mulanya ku anggap mudah perjalanan ini. Dengan idealisme khas seorang remaja, kusambut hangat uluran tangan mereka yang ramah mengajakku. Pada awalnya, aku belum memahami sepenuhnya arti perjalanan ini. Begitupun arti perjumpaan dengan Yang Maha Agung, yang konon merupakan puncak kebahagiaan manusia.

Agaknya kekurangpahaman ini menyebabkan banyaknya rekan seperjuanganku yang mengurungkan niat. Atau mereka segera merasa letih, atau memilih jalan lain yang tampaknya lebih menjanjikan kemudahan. Namun aku tiada terganggu. Sementara jalan dihadapanku semakin menanjak dan menyempit. Dan waktupun terus berlalu. Aku dan yang lainnya terus melangkah terseret-seret. Hampir seperempat abad usiaku aku habiskan di jalan ini. Dan kini makin kupahami tabiat jalan yang telah kupilih.

Entah sudah untuk yang keberapa lutut ini bergetar. Nafas pun mulai tersenggal. Kadang kujumpai seseorang berdiri di tengah jalan. Ia tampaknya tidak menyukai kehadiranku. Tapi aku harus melewati jalan itu. Dengan segenap kemampuan kuhadapi ia. Terkadang saudara-saudaraku tinggal diam, membiarkan ku berkelahi sendirian.

Entah berapa kali sudah aku tersungkur. Orang bilang aku terlalu ringkih untuk menuntaskan seluruh perjalanan. Tapi aku tidak mau peduli. Masih pekat kepercayaanku, Ia yang akan kujumpai di sana senantiasa akan memberikan kekuatan gaib-Nya kepadaku.

***

Kini dihadapanku berdiri angkuh tebing terjal. Tanahnya coklat basah. Ada jalan setapak. Dipinggirnya ada semak-semak liar, yang menatap kami dengan masam. Sementara dari sudut mataku, dapat kutangkap adanya jalan lain yang jauh lebih mudah. Tak ada tanah licin yang menantiku tergelincir. Tak ada semak yang mengejek. Jalannya pun lapang dan teduh. Tapi aku tak mau menatap jalan itu. Kupertajam tatapanku ke arah tebing angkuh tadi. Samar dapat kulihat jejak-jejak kaki orang-orang sebelumku. Namun terkadang tak kulihat adanya jejak sama sekali.

Dan babak baru perjalanan pun kami mulai. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan cermat. Salah pijak, hampir pasti akan tergelincir. Terpaksa kuakui kalau nyali ini agak menciut. Namun kututupi sedapatnya. Akupun harus melangkah naik.

Ah…seorang saudaraku tegelincir, tepat disebelah ku! Kuulurkan tangan menahan lajunya. Tapi terlalu berat. Dengan pasti aku turut terseret. Namun ia tidak berusaha untuk turut naik. Sementara pijakankupun semakin tak pasti. Dengan berat kuputuskan untuk melepaskan peganganku. Ia mengerti, ia ingin segera menuju jembatan yang memisahkan jalan kami dengan jalan lain yang lebih ramah, walau entah menuju kemana.

Bahkan sempat kudengar kabar, terhentinya perjalanan salah seorang saudaraku yang dulu turut membimbingku melewati masa-masa awal perjalanan. Dan semakin banyak saja yang mengikuti jejak mereka!

Disetiap jalur yang kami tempuh, ada tempat-tempat peristirahatan sejenak. Tempat kami melepaskan segala keluh kesah dan keletihan. Biasanya Ia akan menurunkan pembantu-pembatu-Nya untuk menghibur kami, orang-orang yang mendambakan perjumpaan dengan-Nya. Di sini aku biasa menangis sejadinya. Menghimpun keberaniam, guna melanjutkan langkah.

***

“Rabbku, telah kupenuhi panggilan-Mu, membawa tubuh ringih ini melewati jalan yang Kau kehendaki. Telah kucoba melepas segenap yang aku mampu untuk mengatasi beratnya medan yang menghalang. Telah coba kuatasi sedapatnya panasanya hari-hari kulewati.

Namun ampuni aku ya Rabbi.

Betapa seringnya hamba tertegun ragu, untuk melanjutkan perjalanan yang panjang ini. Semuanya memang dikarenakan kelemahan hati ini yang masih saja berharap mencicipi kenikmatan duniawi. Kinipun hati yang peragu ini masih diguncang gundah. Akankah Kau terima buah karya tangan lemah ini? Akankah Kau hargai, apabila saat ini hatiku masih juga mengharapkan wajah lain selain wajah-Mu? Jika masih juga kunanti senyum lain selain senyum-Mu? Juga masih kudambakan pujian selain dari pujian-Mu?

Betapa semakin berat persangkaanku akan kesia-siaan amalanku, jika kuingat Engkau Maha Pencemburu!”

***

Ada kudengar jalan lain yang jauh lebih sulit dari yang kini kutempuh. Orang-orang yang melewatinya adalah orang-orang perkasa, dengan nyali melebihi singa. Mereka mempertaruhkan segalanya, harta nyawa sekalipun. Mereka meyakini dan merasakan, meregangnya nyawa dari jasad justru mempercepat perjumpaan mereka dengan sang Kekasih. Ada terpikir olehku untuk melewati pula jalan itu. Namun aku cukup arif untuk menyadari, betapa diri ini tak layak disejajarkan dengan mereka. Siapakah aku ini, dibandingkan mereka yang senantiasa bersimbah peluh dan debu, untuk membuktikan kecintaan kepada-Nya? Betapa lancangnya aku mengukur diri dengan mereka yang menghabiskan malam-malamnya dengan sujud tersungkur, mengharapkan ampunan dan cinta-Nya. Dan aku pun harus bersabar..

Kupandangi tanah datar dihadapanku. Disalah satu sisinya ada lembah yang terus menyatu dengan kaki gunung. Perlahan kudengar gemericik air kali. Kuseret langkah ke sana. Gemericik suara dedaunan dan teriakan serangga ilalang menemani kesunyianku. Kulepas alas kaki. Hati-hati kumasukan kaki ke beningnya air. Terus menuju ke taengah-tengah arus. Kuresapi dan kunikmati kesejukannya. Kuusap wajah dan kepala, dan segera kurasakan kesegaran yang luar biasa. Selanjutnya aku telah tertunduk disebongkah batu besar ditengah-tengah kali.

Sejuta pikiran dan anggan bersatu dibenakku. Perjalanan panjang telah mengantarkanku kemari. Kuharap kesunyian tempat ini dapat meneduhkan gejolak panas dibenakku.

Tapi sampai berapa lama aku berada dalam kesunyian seperti ini. Gunung diam dihadapanku justru mempertebal kebosananku. Kicauan burung yang ramai pun tak mampu menembus kekosongan hatiku. Kulihat sekelilingku. Sepi. Aku harus segera berlari, kembali kerombongan. Pesona tempat ini ternyata tak mampu mengobati hatiku yang sunyi. Aku harus bergabung bersama mereka, kembali melintasi semak berduri. Seraya terus menetapkan angan, akan suatu peristirahatan abadi. Akan suatu taman yang rindang, yang kaya dengan aneka buah, yang dibawahnya mengalir sungai-sungai ………………………..

***

Referensi : Ibnu Ibrani dalam majalah Islah

3 thoughts on “Muhasabah

Leave a comment