Dan Ramadhan 1435 H ini pun pergi meninggalkan kita. Tak terasa ada air mata yang menetes, seolah ia tak mau tertahan dan kemudian melaju setetes demi setetes untuk mewakili perasaan ini.
Akhirnya, takbir itu bergema di sudut-sudut jalan yang sudah mulai sepi ditinggal mudik penghuni. Takbir yang beresonansi dari para penghuni masjid membuat suasana riuh menyambut ceria kedatangan Syawal. Tabuhan beduk menghiasi keramaian takbir keliling para anak dan remaja sekitar. Letupan-letupan bunyi petasan dan kembang api pun juga tak mau kalah menyemarakkan malam yang biasanya hening ini.
Dan Ramadhan 1435 H ini pun pergi meninggalkan kita. Tak terasa ada air mata yang menetes, seolah ia tak mau tertahan dan kemudian melaju setetes demi setetes untuk mewakili perasaan ini. Bukan hanya perasaan sedih karena ia telah berlalu, namun ada suasana haru biru lain yang menyelimuti perjalanan ibadah di bulan penuh berkah ini. Walaupun secara target tidak seperti ramadhan sebelum-sebelumnya, namun penentuan target kali ini sudah menyesuaikan kondisi untuk optimalisasi ibadah ramadhan dan Alhamdulillah bisa terpenuhi.
Di ramadhan kali ini pula, Allah menunjukkan kebesaran-Nya untuk memberikanku kesempatan menetaskan sebuah mimpi, yaitu menjejakkan kaki di Jepang. Dalam sebuah training singkat dari kantor, rasa syukur tak pernah henti terucap dalam hati atas sebuah karunia nikmat safar yang tidak semua orang akan bisa merasakannya. Ia memperlihatkan bagaimana di sebuah negara yang tidak mengenal Tuhan saja dapat berperilaku dan berbudaya yang seharusnya umat muslim dapat melakukannya. Bagaimana budaya disiplin menghargai waktu, salah satu hikmah yang seharusnya didapatkan dalam ibadah shalat kita, kembali membukakan mataku. Misal, tak ada alasan terlambat datang dikarenakan mereka begadang sampai pagi. Atau dari hal remeh temeh lainnya, seperti budaya tertib menyebrang dan juga berkendara.

Di sana pula, saya merasakan bagaimana seorang muslim di Jepang berpuasa. Dengan durasi waktu puasa yang lebih panjang daripada di Indonesia, adaptasi awal saya ini kurang berhasil. Hingga akhirnya saya memilih mengambil “rukhsah” tidak berpuasa bagi musafir di hari-hari selanjutnya.
Di kala ada air mata suka, tentu akan ada air mata duka yang menemani. Dan di ramadhan kali ini pula, belum pernah ku melihat Papa duduk di kursi kebesarannya di meja makan menyambutku pulang kerja. Yang ada hanyalah sosok tinggi besar itu yang lebih banyak berbaring lemah di tempat tidurnya di kala diri ini pamit berangkat ataupun pulang kerja. Yang ada hanyalah suara parau yang terkadang keluar menahan perih sakit prostat yang baru beliau derita menjelang datangnya Ramadhan. Di tengah keterbatasan fisiknya yang menjadi ujian kehidupan dan pintu pahala bagi keluarga, baru kali ini saya melihat beliau tidak mampu menjalankan puasa satu hari pun di Ramadhan. Ya Allah, hanya kepada-Mu lah kami mengharapkan kesembuhan untuknya dan limpahkan kesabaran kepada kami, terutama Mama, yang mengurusnya.
Dan ramadhan pun tetap melangkah meninggalkan kita. Ia tidak akan membalas tatapan sedih yang seakan menyesali ketidakoptimalan beribadah. Ia pun tidak akan pernah mengetahui apakah kita akan masih diberikan kesempatan oleh-Nya untuk bertemu lagi di tahun mendatang. Namun, sekarang ia telah digantikan oleh Syawal, dimana kita harus bersyukur menyambutnya. Ada Idul Fitri di dalam bulan itu. Ada puasa sunnah syawal yang juga menunggu. Dan tentu juga, ibadah-ibadah lain yang senantiasa kita rutin menjalankan selama Ramadhan tetap perlu dijaga keistiqomahan dalam mengerjakannya.
Ahlan wa sahlan, Syawal. Izinkanlah diri ini menyambutmu dengan mengucapkan “Selamat Idul Fitri 1435 H, taqabballahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum” kepada teman-temanku semua yang senantiasa mendapatkan kekhilafan dalam diri ini saat berinteraksi. Dan hanya kepada-Mu lah diri ini memohon ridho agar senantiasa dibukakan pintu maaf atas dosa-dosa yang sengaja maupun tak sengaja. Aamiin!
Syafakalloh ya ki buat bapak. Semoga Alloh kmbalikan kesehatan dan kebugaran beliau. Aamin..
Aamiin..
Makasih doanya kum